DI DEPAN GEDUNG SATE, AWAL JANUARI INI

oleh: Bob Anwar

Ban dibakar. Spanduk dibentangkan. Di depan Gedung Sate awal Januari ini, suara-suara muda berkumandang tentang korupsi dan kemiskinan. Semuanya seperti pertunjukan yang telah kehilangan kejutannya.

Camus dan Sisyphus-nya terasa begitu relevan. Para mahasiswa itu mendorong batu protes mereka, seperti ritual yang terus berulang. Tapi tidak seperti Sisyphus yang sadar akan absurditas takdirnya, mereka bahkan dengan bangga mengumumkan jadwal perlawanan berikutnya: “demo 100 hari Prabowo.”

Hannah Arendt, dalam pemikirannya tentang ruang publik, mungkin akan terheran-heran. Bagaimana sebuah demonstrasi bisa menjadi sekadar agenda yang terjadwal, seperti rapat rutin birokrasi? Perlawanan yang spontan kini harus menunggu tenggat waktu.

Di antara kepulan asap ban, saya lihat beberapa mahasiswa sibuk dengan ponselnya. Mencari angle terbaik untuk foto protes mereka. Lalu, mungkin mengutip Marx, Tan Malaka, atau Pramoedya dalam caption Instagram-nya, meski mungkin tak satu pun buku tentang mereka pernah dibaca.

Habermas dan gagasannya tentang diskursus publik yang cerdas terasa begitu jauh. Di era digital ini, seharusnya perlawanan bisa mengambil bentuk yang lebih canggih: platform pemantau kebijakan, podcast investigatif, atau jaringan riset kolaboratif. Tapi rupanya, membakar ban lebih fotogenik untuk media sosial.

Perpustakaan kampus sepi. Ruang-ruang diskusi lengang. Tapi jalanan penuh teriakan-teriakan yang entah didasari pemahaman apa. Mereka memprotes anggaran daerah, tapi berapa yang benar-benar pernah membedah APBD? Mereka menuntut keadilan ekonomi, tapi berapa yang paham teori ketimpangan?

Saya mencoba berempati. Generasi ini tumbuh di era yang membingungkan: informasi berlimpah tapi dangkal, Media sosial yang meminta respons instan, pandemi yang menggerus budaya diskusi. Tapi bukankah justru ini yang seharusnya membuat mereka lebih haus pada kedalaman pemikiran?

Yang menyedihkan bukan demonstrasinya, tapi bagaimana ia telah menjadi sekadar ritual tanpa substansi. Para mahasiswa dulu membawa buku di saku mereka, kini membawa powerbank. Dulu mereka berdebat tentang ideologi, kini berdebat tentang filter Instagram mana yang lebih dramatis.

Mungkin kita terlalu banyak berharap. Di era ketika TikTok lebih menarik dari tesis, ketika tweet thread lebih populer dari riset akademik, ketika “viral” lebih penting dari “vital”: bagaimana mungkin mengharapkan gerakan mahasiswa yang substantif?

Di tengah asap ban yang mengambang di udara Bandung, saya bertanya-tanya: apakah kita masih ingat caranya membuat perubahan?

06/01/2025

Bob Anwar, sastrawan dan musisi indie Bandung

pg สล็อต เว็บสล็อต pg สล็อต pg เว็บตรงแตกหนัก สล็อตเว็บตรง namthip88